Beranda | Artikel
Sistem Bank Syariah di Malaysia
Senin, 1 Agustus 2016

Rubrik: Wawancara

Artikel ini pernah diterbitkan oleh: Majalah Pengusaha Muslim Edisi April 2012

Berikut wawancara melalui telepon majalah Pengusaha Muslim dengan Imam Bayhaqi, pemerhati ekonomi Islam, kandidat doktor di Islamic Finance at International Centre for Education of Islamic Finance (INCEIF) Kuala Lumpur, Malaysia, mengenai sistem perbankan Islam di Malaysia.

Assalamu alaikum. Menurut Pak Imam, bagaimana konsep bank syariah di Malaysia?

Wa alaikumus sallam. Sebelumnya kita harus merujuk pada definisi bank. Bank adalah lembaga keuangan yang menyimpan kelebihan dana nasabah kemudian menyalurkan ke nasabah yang membutuhkan. Opresionalnya, biaya, jika konvensional, dia membiayai operasionalnya dari perbedaan suku bunga, antara yang diberikan kepada penabung dan yang diterima dari peminjam. Perbedaan ini yang digunakan untuk biaya operasional bank. Ini yang pertama. Kedua, jasa-jasa perbankan lainnya, seperti transfer dan sebagainya. Itu inti bank dan operasionalnya.

Pada bank syariah, bagaimana?

Semua operasional bank seperti itu, karena memang itu prinsip dasar. Hanya saja, bank syariah, dia menggunakan sistem yang lain, tidak menggunakan perbedaan bunga antara debitur dengan deposan, tapi menggunakan laba yang didapatkan dari usaha dengan peminjam yang sebagian diberikan kepada deposan. Akan tetapi, pada kenyataannya hampir  semua bank syariah itu dikelola oleh orang yang latar belakangnya bank konvensional. Karena itu dalam operasionalnya pun, diakui atau tidak diakui. Pengakuan mereka menggunakan sistem syariah/Islamic finance, tapi pada kenyataannya masih menggunakan sistem ribawi.

Termasuk bank Islam di Malaysia?

Ya, di Malaysia, di antaranya adalah menggunakan bai’ inah. Karena menurut undang-undang perbankan, fungsi bank hanya menjadi mediator, antara orang yang kelebihan dana dengan orang yang membutuhkan. Sehingga kalau dia berstatus sebagai Islamic bank, dalam arti sebagai financier (lembaga pembiayaan), maka dia lepas dari undang-undang bank. Itu konsekuensinya. Artinya, kalau dia menjadi bank, dia tidak boleh berdagang. Sementara dalam operasional,bank  Islam adalah hampir dipastikan menjadi pedagang. Misalnya, bank menerapkan transaksi bai’. Artinya, kalau dia bank tidak diperbolehkan melakukan bai’ kan?

Regulasi dan undang-undang perbankan di Malaysia juga seperti itu; bank tidak diperkenankan melakukan bisnis riil?

Malaysia memiliki undang-undang perbankan yang lebih lengkap daripada Indonesia. Kalau dari sisi definisi perbankan yang asli, mereka tidak boleh melakukan bisnis rill. Dan kalau dia menjadi pedagang, maka dia keluar dari ketentuan sebagai bank, karena fungsi bank adalah mediator antara pemilik kelebihan dana dan orang yang butuh dana.

Termasuk bank Islam?

Kalau Islamic bank berfungsi sebagai penyandang dana. Artinya, dia memfasilitasi dan menjadi agen. Dalam arti, dia juga berdagang (berjualan secara langsung). Dia membeli dari pihak ketiga untuk dijual kepada pihak yang membutuhkan. Baik dengan bai’ bi-tsaman ajil (BBA) atau bai’ bil aqsath dan yang lain. Mereka selalui menggunakan istilah bai’, yang artinya jual-beli.

Kalau Islamic bank di Malaysia menerapkan sistem itu berarti dia dibebaskan melakukan bisnis riil?

Boleh atau tidak boleh mereka tetap harus menggunakan sistem itu (berjualan secara riil).

Maksud kami, menurut pengamatan Pak Imam, bank Islam dan bank-bank syariah lain di Malaysia, apakah menerapkan sistem itu?

Ya, mereka menerapkan sistem itu. Tetapi pada kenyataannya, meski pun mereka menjual, konsep dasarnya tetap menggunakan sistem ribawi. Contohnya, orang membeli rumah, kreditnya menggunakan sistem bai’ bi tsaman ajil, dibayar katakanlah dalam 15 tahun. Selama rentang ini mereka menghitungnya menggunakan standar bunga bank, sehingga harga rumah itu hampir sama dengan KPR biasa. Nah, ketika ada konflik, kemudian konsep ini dibawa ke pengadilan, seringkali bank Islam mengklaim bahwa yang digunakan adalah harga yang fixed tadi dan itu mengikat. Sehingga, misalnya, gagal bayar di tengah jalan, orang yang membeli dengan sistem BBA akan dikenakan harga total rumah itu. Padahal kalau menggunakan kredit bank konvensional, mereka akan dikenakan biaya sisanya. Sehingga dalam beberapa kasus, Islamic bank lebih ribet dan lebih menyulitkan nasabah, dalam kasus gagal bayar.

Contoh lainnya kasus mempercepat pembayaran. Misalnya, nasabah sepakat membayar dalam 15 tahun, dengan harga Rp 150 juta, kemudian setelah mencicil 5 tahun, yang berarti dia sudah membayar Rp 50 juta, ingin melunasinya tunai, maka dia wajib membayar sisanya, yaitu Rp 100 juta, tanpa diberikan kompensasi percepatan pelunasan. Padahal kalau dicicil pun menjadi Rp 100 juta. Sehingga bagi orang yang berfikir ekonomis, ini tidak menguntungkan. Kemudian karena banyak terjadi kasus di pengadilan, digunakan sistem lain yang namanya rabat (potongan). Tapi ini tidak boleh disebutkan di awal kontrak.

Pada intinya begini, rebutan porsi antara bank konvensional dan bank syariah sangat tajam. Karena kehadiran bank syariah baru, sementara bank konvensional sistemnya sudah kuat, dengan perhitungan riba yang beraneka ragam dan sistem bunga berbunga perhitungannya hebat sekali. Sementara Islamic bank tidak boleh menggunakan perhitungan bunga, sehingga mereka menggunakan sistem perhitungan yang bisa dikatakan masih meraba. Karena latar belakangnya seperti ini, sementara bank syariah dikelola praktisi konvensional, yang diraba adalah sistem konvensional. Pada akhirnya, hampir-hampir sama antara sistem bank syariah dan sistem bank konvensional.

Kita kembali ke sistem KPR. Apakah bank membeli rumah ke developer sebelum menjualnya ke nasabah, ataukah nasabah beli ke developer, kemudian bank melunasinya?

Ada beberapa konsep. Umumnya, konsep yang digunakan adalah BBA. Biasanya, pembeli datang ke developer, kemudian dia membayar, misal 10%, kemudian sisanya dibayar bank. Rumah itu dibeli bank atas nama bank, kemudian nasabah beli rumah itu dari bank.

Apakah bank Islam juga menawarkan produk mudharabah?

Sangat sedikit bank Islam menggunakan mudharabah, karena mudharabah sebetulnya sistem kerjasama yang cocoknya digunakan untuk orang per orang. Person to person, bukan company to company. Mudharabah itu kan orang menyerahkan uangnya kepada orang lain yang terpercaya, yang satu mudharib dan yang satu rabbul maal. Sehingga jika menggunakan sistem ini haruslah dengan orang kepercayaan. Sistem ini lebih berdasarkan kepercayaan. Sekarang, jika konsumennya orang yang tidak dikenal, akan susah. Intinya, mudharabah adalah konsep yang diterapkan antara person to person dan tidak cocok untuk company to person. Yang cocok untuk company adalah musyarakah.

Bagaimana dengan bank-bank Islam di Malaysia, apakah mereka tidak mengadakan produk mudharabah?

Sangat jarang. Karena tidak cocok. Sistem yang banyak diterapkan adalah musyarakah, karena itu yang sesuai dengan bank. Seperti membeli saham atau yang lainnya.

Mohon Pak Imam menyebutkan beberapa bank Islam di Malaysia yang bertransaksi musyarakah, dan bagaimana pula tinjauan syar’i-nya?

Arti banyak di sini adalah beberapa saja. Tidak mewakili mayoritas. Kalaupun dipersentasekan, sangat kecil. Sebagai contoh, berbagai proyek dibiayai dengan joint venture (musyarakah) antara  bank dan pemilik proyek. Bank mengucurkan dana, sementara pemilik proyek share dengan tanah dan proyeknya. Jika proyek yang digarap adalah proyek besar, tidak hanya satu bank Islam saja yang membiayai, tapi beberapa bank. Inipun dapat disebut musyarakah antar-bank.  Dari sisi konsep, model musyarakah inilah yang seharusnya dilakukan bank Islam. Karena mereka berfungsi sebagai financier (penyandang dana), bukan mengutangi proyek tadi, akan tetapi membiayainya. Dan dari keuntungan yang didapat dari proyek itu, bank turut mendapatkan keuntungan. Sisi syariahnya pun mendukung konsep sharing ini.

Terkait tabungan, konsep yang diterapkan bagaimana?

Untuk sistem tabungan, deposan menyerahkan sejumlah uang ke bank, pengelolaannya diserahkan kepada bank. Dan bank bebas untuk mengelolanya. Sistem yang digunakan adalah mudharabah muthlaqah. Artinya, bank bebas menggunakan dana tersebut dan nasabah pun bebas untuk menarik uangnya, kapanpun yang dia inginkan.

Apakah uang yang disimpan di bank mendapat jaminan dari bank?

Kalau pun tidak dijamin, di sana ada pihak ketiga yang mengontrol.

Artinya, misalnya bank mengalami kerugian atau yang lain, berarti deposan bersedia tidak mendapatkan kembali uangnya?

Mereka (bank) dikontrol oleh bank negara, BNM. Jadi sebelum bank bankrut, BNM akan mengamati. Sehingga sebelum bank itu bangkrut, nasabah dapat segera mengambil tindakan mengamankan uangnya.

Intinya, apakah dalam kasus ini bank menjamin keamanan dana deposan?

Secara tertulis, bank sendiri tidak menjamin. Tetapi secara konsep yang tidak tertulis, bank menjamin. Bank menawarkan bahwa siapa yang menabung akan mendapatkan keuntungan. Artinya, dana itu tidak hanya kembali, tetapi juga berkembang. Sehingga jaminannya bukan dalam bentuk sesuatu tertulis, namun lebih bersifat kepercayaan.

Misalnya ada pertanyaan, jika ada orang yang meminjam kemudian dia bangkrut, apakah dia tidak mengembalikan modal yang dipinjam?

Ini adalah pertanyaan dari orang-orang yang mungkin bahasanya: kalau bisa ngemplang mengapa tidak ngemplang. Sesungguhnya bank dananya milik nasabah. Dana orang lain, sehingga bank sebegai penengah juga memiliki kewajiban untuk mengembalikan kepada nasabahnya. Artinya, peminjam punya kewajiban untuk tetap mengembalikan pinjamannya  dalam kondisi apa pun. Karena kesulitan semacam inilah jarang sekali Islamic banking yang bersedia menggunakan  mudharabah, karena mudharabah adalah pembiayaan dan bukan pinjaman.

Dalam prakteknya, apa produk yang banyak diterapkan bank Islam di Malaysia?

Mestinya musyarakah, sekali pun bank juga banyak menerapkan murabahah. Meskipun demikian, bank Islam masih mempraktekkan murabahah bil ‘inah, yang  bagi sebagian kalangan dianggap haram.

Contohnya?

Misalnya ada orang yang butuh dana, katakanlah dia butuh 1.000 ringgit. Dia datang ke bank, tapi bank tidak memberinya pinjaman. Bank mereferensikan nasabah ini agar mendatangi satu dealer yang menjadi agen rekanan bank. Kemudian dealer memberikan produk tertentu, misalnya motor seharga 1.100 ringgit yang harus dibayar secara kredit. Setelah motor seolah-olah dibeli dan pindah tangan, dia menjualnya ke bank 1.000 ringgit secara tunai. Di sini nasabah mendapat dana tunai 1.000 ringgit dan harus mengembeli dengan harga 1.100 ringgit dan harus mengembalikan sebesar 1.100 ringgit.

Bukankah sistem itu termasuk bai’ tawarrruk?

Betul. Pada awalnya, nasabah yang perlu uang, langsung datang ke bank, kemudian dilakukan transaksi ‘inah. Namun karena transaksi ini banyak dikritik, akhirnnya mereka menggunakan sistem tawarruk yang masih ditolelir banyak pihak.

Meskpun sebenarnya itu hanya kamuflase tawarruk saja, bukan demikian Pak Imam?

Memang, itu kamuflase saja. Sebenarnya sistem bai’ ‘inah yang langsung ke bank. Itu disahkan oleh Dewan Syariah di Malaysia. Tetapi setelah mendapatkan banyak kritik dari luar, beberapa bank Islam di Malaysia pun menggunakan sistem tawarruk sebagai ganti bai’ ‘inah.

Bank Islam kemudian memahamkannya kepada masyarakat tentang aturan itu?

Saya kira tidak disampaikan. Saya tdak tahu persis bagaimana kampanye mereka. Tapi bagi nasabah yang ingin menyimpan uang, ya dia menabung saja begitu.

Penyimpanan uang dengan transaksi mudharabah muqayyadah, apakah nasabah bebas menarik dananya kapan saja, ataukah ada rentang waktu tertentu?

Itu tidak bisa kapan saja. Kecual yang mutlaqah. Karena untuk mudharabah muqayyadah, nasabah menentukan sendiri proyek apa yang hendak dijalankan dengan dana itu, sehingga tergantung proyeknya.

Kondisi bank syariah di Malaysia sejatinya bagaimana?

Kondisi penerapan syariah di sana lebih bebas dan lebih longgar. Lebih longgar daripada di Indonesia.

Maksudnya?

Lebih longgar. Mereka ada benchmark (acuan)-nya. Artinya, sesuatu yang haram, itu bisa dipersentasekan. Jadi, misalnya, ada satu usaha yang campur antara yang halal dan haram, itu ada persentasenya.

Contoh penerapan persentase itu bagaimana?

Misalnya, perusahaan A, menyewakan properti, bisa dianggap syariah compliant ataukah tidak syariah compliant. Misalnya ada untuk swalayan, dan di sana ada konter yang digunakan untuk jual daging babi, miras, kemudian dihitung, konter yang digunakan untuk barang haram berapa persen. Bisa ketemu 10% atau 5%.

Konsekuensinya bagaimana, setelah diketahui hasil perhitungan persentase bagian yang haram?

Yang itu dibuang. Yang haram dibuang, dan sisanya dianggap halal. Sehingga, misalnya, pendapatannya Rp 100 juta, dan yang haram 5%, maka dari penghasilan itu, yang 5% dibuang dan 95% dianggap halal. Artinya, income perusahaan properti itu halal setelah dibuang yang 5 % tadi. Karena income itu tidak langsung dari bisnis haram, bisnis, hukum asalnya adalah halal.

Konsep bank syariah yang diterapkan di Malaysia, dengan berbagai produknya, kira-kira sudah berapa persen yang sesuai syariah?

Agak susah untuk mengukurnya karena beberapa sebab. Pertama, tidak ada kesatuan standar dalam syariah, terutama yang berkaitan dengan muamalah. Boleh jadi suatu transaksi dianggap halal, tapi pihak lain mengatakan tidak halal. Contohnya bai’ ‘inah yang di Malaysia dinyatakan sebagai halal, sementara di Timur Tengah dianggap haram. Kedua, mereka memiliki dewan syariah yang telah melegalkan/menghalalkan produk-produk perbankan tersebut berdasarkan ijtihad mereka, di mana ijtihad mereka tidak bisa dipatahkan kecuali dengan ijtihad yang lebih tinggi statusnya seperti ijtihad jamai lembaga syariah internasional.

Ketiga, ada pemikiran bahwa mereka harus melakukan suatu tindakan cepat dan tepat untuk kemajuan ekonomi ummat islam agar tidak tertinggal, sehingga mereka melakukan terobosan-terobosan kajian yang cukup berani. Keempat, industri perbankan Islam di sana akan menyatakan bahwa mereka sudah 100% patuh syariah berdasarkan standar kepatuhan syariah yang diberlakukan oleh regulator (dewan syariah pada Bank Negara Malaysia – BMN). Tetapi sekali lagi, standar syariah itu berbeda-beda, sehingga angka persentase yang ditunjukkan pun akan berbeda, meskipun yang diukur sama.

Jazaakallah khoiran Pak Imam, atas banyak informasi yang berharga. Semoga bermanfaat. ***

PengusahaMuslim.com

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • DONASI hubungi: 087 882 888 727
  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/5451-sistem-bank-syariah-di-malaysia.html